Studi Perkembangan Ilmu Pengetahuan Astronomi Islam Klasik
I. PENDAHULUAN
Sejak
abad ke-1 H./ 7 M. sampai pada abad ke-7 H. / 13 M. pusat perkembangan
kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia berada di Timur, sampai Barat
wilayah Islam. Ke kota-kota inilah para cendekiawan datang untuk belajar
atau berkonsultasi. Bagdad, Kordoba dan Kairo adalah kota-kota ke
khalifahan Islam. Bagdad adalah tempat kedudukan dinasti ‘Abassiyah (132
H./ 750 M. – 656 H./ 1258 M.), Kordoba ibu kota dinasti Umayyah Barat
atau Spanyol (138 H./ 756 M. – 422 H./ 1031 M.) dan Kairo Ibu kota
dinasti Fatimiyah (297 H./ 909 M. – 567 H./ 1171 M.).
Bagdad,
Kordoba, Kairo dan juga kota-kota lainnya berperan sebagai pusat
pengkajian ilmu pengetahuan karena para khalifah dan sarjana-sarjana
muslim adalah pencinta ilmu. Mereka tidak memusuhi ilmu pengetahuan
bahkan berpendapat mempelajari ilmu pengetahuan adalah salah satu
perintah agama. Tuhan berfirman bahwa jika manusia ingin yakin tentang
kebenaranNya, maka kajilah jagat raya dan segala isinya yang diciptakan,
yang semuanya bergerak dalam satu sistem alam semesta yang teratur.
Namun memasuki abad pertengahan kemajuan peradaban Islam mengalami
kemunduran dan pusat-pusat lembaga riset dan perpustakaan yang penuh
dengan kreatifitas para ilmuan muslim pindah dari Timur ke Barat,
setelah kaum muslimin menganggap “pemakruhan” mempelajari sains yang
tidak khas mempelajari agama saja. Mereka kehilangan ruh Islam, sebab
justru agama sendiri menyuruh umatnya mempelajari sains. Satu dari
sekian sains yang cukup urgen dan berumur tua adalah ilmu astronomi.
Oleh
karena itu, keilmuan alam dan peradaban Islam sedikit demi sedikit
memudar, seakan dimakan zaman, sampai akhirnya secara umum telah banyak
yang hancur dan musnah. Semua itu diibaratkan posil-posil yang berharga
ditengah hamparan sejarah sains Islam atau peradaban Islam masa lampau,
sebelum gelombang modernisasi melanda dunia. Runtuhnya peradaban Islam
terjadi hampir bersamaan dengan lahirnya peradaban Barat modern,
peradaban muda, penuh vitalitas dan energy yang luar biasa, membuat
perkembangan pesat dan kemajuan yang menyapu semua dunia. Pada
gilirannya peradaban Islam yang dulu pernah berkuasa, seolah tidak
berdaya dihadapan paradaban Barat Eropa.
Tulisan
ini berusaha untuk mengungkap hasil-hasil peradaban Islam klasik dalam
kaitannya dengan keilmuan sains dan terlebih khusus ilmu Astronomi hasil
dari peradaban Islam dulu yang dikembangkan oleh para ilmuwan Muslim.
Lebih dari itu, sains Islam secara mandiri menelaah watak fenomena
benda-benda langit, dan menemukan rumusan akan pergerakan tata surya,
menemukan teori peta bumi, menemukan pergerakan kalender dan lain
sebagainya, pada akhirnya penemuan-penemuan tersebut sangat
menguntungkan terhadap beberapa jadwal ibadah dalam agama islam yang ada
keterkaitannya dengan kelender tanggal. Tidak luput pula akan
disampaikan dalam tulisan ini sedikit akan peran pentingnya ilmu
pengetahuan dalam membangun peradaban, sera akal dan urgensinya.
II. KONSEP ISLAM TENTANG ILMU PENGETAHUAN ALAM
a. Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Menurut
Islmail al Faruqi, Islamisasi ilmu pengetahuan adalah mengislamkan
disiplin-disiplin ilmu atau lebih tepat menghasilkan buku-buku pegangan
pada level universitas dengan menuangkan kembali disiplin ilmu modern dengan vision Islam.[1]
Dengan demikain ilmu pengetahuan akan membatu menjalankan peran fungsi
manusia sebagaimana yang Allah inginkan, terhindar dari
sekuler-materialis, rasionalis-empirik yang bertentangan dengan
nilai-nilai moral dan keislaman.
Menurut Ziauddin Sardar Islamisasi ilmu pengetahuan penting untuk membangun word view
(pandangan dunia) dengan titik pijak utama membangun epistemologi Islam
baru dan tidak hanya mensintesiskan ilmu modern dengan Islam.[2] Adapun prinsip-prinsip dari Islamisasi ilmu pengetahuan menitiktekankan pada fondasi epistemology yang bertumpu pada; pertama, tauhid yang merupakan inti dari ajaran Islam. Kedua,
kesatuan alam, maksudnya adalah apa yang Allah ciptakan tidak akan
mungkin ada campur tangan pihak lain dan tidak ada kesia-siaan (Q.S.
al-Baqarah: 22).[3] Ketiga
adalah kesatuan kebenaran, bahwa suber hukum Islam berupa Al Quran
merupakan kebenaran subtantif, absolute dan tidak akan bertentangan
dengan ilmu pengetahuan yang benar. Keempat adalah kesatuan
hidup, ilmu pengetahuan alam harus menjalankan satu kesatuan peran dan
fungsi manusia, yaitu sebagai khalifah dan sebagai hambaNya.[4] Kelima yaitu
kesatuan umat manusia, artinya semua umat manusia dalam segala
heterogensinya sama di hadapan Tuhan, juga barometer penilaian terhadap
mereka hanya ketakwaannya. Oleh karena itu datangnya Islam dengan
kemajuan ilmu pengetahuannya untuk semua tatanan social secara total.[5]
b. Peran Akal dalam Islam
Manusia
dinyatakan sebagai makhuluk yang berakal. Akal merupakan potensi besar
intern dalam diri manusia. Namun akal dapat berperan setelah dia
mengenal realitas kehidupan dalam rangka memahami isi kandungannya, maka
salah satu fungsi akal adalah memahami obyek-obyek realitas-realitas
itu berupa realitas empirik dan non empirik. Yang empirik masuk dalam
ilmu pengetahuan alam, sedangkan yang non empirik mengenal dan
memahaminya melalui jalur teks yang diturunkan dari langit.
Peran
fungsi manusia mengenal ilmu pengetahuan begitu penting, terkait dengan
kemudahan dalam membantu kehidupan dan menjalankan tugasnya di muka
bumi ini. Untuk memperoleh ilmu pengetahuan maka manusia harus
memberdayakan potensi akal yang dimilikinya. Dengan ini maka
sesungguhnya Islam menempatkan akal pada posisi sangat penting. Ia
adalah sumber daya untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Al Ghazali mendefinisikan akal sebagai berikut:
1. Akal adalah sifat yang membedakan manusia dengan hewan.
2. Hakekat akal adalah ilmu pengetahuan yang dapat membedakan baik buruk.
3. Akal adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman dan percobaan observasi.
4. Akal adalah kekuatan gharizah atau tabiat untuk mengetahui akibat dari segala sesuatu dan mencegah nafsu serta menundukkannya.[6]
Dengan
ini maka jelaslah sudah bahwa sesungguhnya Islam menempatkan akal pada
posisi sangat penting yang dimiliki manusia. Ia adalah sumber daya untuk
memperoleh ilmu pengetahuan. Islam begitu mendukung terhadap kemajuan
dan perkembangan ilmu, tidak terkecuali Astronomi yang memiliki
keterkaitan kuat dengan peribadatan dalam agama Islam. Tertuang dalam
Al-Qur’an memerintahkan kepada manusia untuk memperhatikan apa yang ada
di langit dan bumi dengan kemampuan daya pikirnya, akal (Q.S. 3:
190-191). Maka sungguh tidak dibenarkan kalau ada yang menyatakan ilmu
mempelajari alam semesta adalah makruh, justru yang ada adalah
sebaliknya.
c. Kedudukan dan Peran Ilmu Pengetahuan Alam
Astronomi merupakan salah satu dari ilmu pengetahuan alam (Kauniyah), yang mempelajarinya juga dianjurkan dalam Islam. Peran fungsi mempelajari ilmu kauniyah adalah[7]:
1. Ilmu
alam berperan dalam mengenal kekuasaan Allah. Sebagaimana yang
dinyatakan sendiri oleh ilmuwan Thomas Carlyle “Di dalam labolatorium
pengetahuan dengan seluruh sains dan ensiklopedinya, kita akan menemukan
secara tepat keberadaan Tuhan.”[8]
2. Studi
akan fenomena alam dan keajaibannya akan menciptakan daya syukur dan
pemanfaatan alam lebih optimal guna keberlangsungan kehidupan manusia.
Tipe manusia seperti inilah yang al Quran menyebutnya sebagai Ulul Albab, cendekiawan muslim taat kepada Allah (Q.S. 2:164 dan 197)[9].
Maka
sesungguhnya tidak ada dikotomi antara ilmu pengetahuan alam dan agama.
Agama mencoba memperkenalkan penyabab terjauh dari segala sesuatu,
yaitu Allah. Sedangkan ilmu pengetahuan umum (alam) mencari
penyebab-benyebab terdekat. Seorang agamawan jika ditanya kenapa hujan
turun? Ia akan menjawab Allah yang menurunkannnya, namun berbeda halnya
jika pertanyaa itu ditujukan kepada ilmuan, ia akan memberi jawaban yang
berbeda, hujan turun karena ada proses matahari menyinari air yang ada
di permukaan bumi, kemudian terjadi meyiblinan, air menguap naik ke
langit, terjadi pemadatan kendungan air, ketika tidak kuat menahan berat
ia akan jatuh kembali ke bumi karena tarikan gravitasi dan terjadilah
hujan.
Ilmu
pengetahuan alam ketika mencoba mencari jawaban kenapa terjadi ini dan
itu tentang fenomena alam semestra, penyebab-penyabab tersebut jika
terus di cari dan ditelusuri maka akan berhenti pada satu penyebab yang
tidak tersebabkan lagi, dan itulah yang di kenal dengan sebutan Tuhan.
Maka ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum adalah satu kesatuan untuk
membuktikan akan keberadaan Allah dan sekaligus menunjukkan akan
kekuasaanNya. Maka tidak heran kalau di dalam al Quran sering
menggelitik manusia untuk memperhatikan langit dan bumi.
III. PENGERTIAN ILMU ASTRONOMI
Manusia telah begitu lama ‘berkenalan’ dengan langit, ribuan tahun yang lalu. Perjalanan
panjang yang ditempuh manusia untuk sampai pada era astronomi modern.
Kini aspek ilmu pengetahuan tentang langit terkumpul dalam cabang
keilmuan astronomi. Astronomi dipahami sebagai cabang ilmu pengetahuan
yang dikembangkan berbasis pengamatan. Objek langit yang dikaji dalam
astronomi mencakup tata surya, seperti komet, bulan, meteor, matahari,
planet dan asteroid, bisa juga dalam lingkup galaksi, bintang-bintang
dan gugusan bintang.[10]
Sedangkan
dalam Ensiklopedi menyatakan bahwa astronomi adalah pengetahuan tentang
benda langit dan alam semesta, merupakan salah satu cabang pengetahuan
ekskta tertua. Satuan astronomi adalah jarak menengah antara matahari
dan bumi, 150 juta kilometer. Satuan ini digunakan sebagai satuan
panjang bagi ukuran di dalam tata surya. Tahun astronomi ialah jumlah
tepat waktu yang diperlukan bumi mengelilingi matahari, dinyatakan dalam
hari, jam, menit, dan sekon. Berbeda dengan waktu sipil, atau kelender, yang dinyatakan dengan bilangan bulat.[11]
Dari
berbagai pengertian, kemudian muncullah klasifikasi ilmu yang mengambil
objek langit dan bintang. Yakni ilmu astronomi dan ilmu astrologi. Ilmu
astronomi mempelajari benda-benda langit secara umum. Sedangkan ilmu
astrologi yaitu ilmu yang mempelajari benda-benda langit dengan tujuan
untuk mengetahui pengaruh benda-benda langit itu terhadap kehidupan
manusia, atau yang lebih dikenal dengan ilmu nujum.[12]
IV. PERADABAN ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN ASTORONOMI
Astronomi
adalah suatu ilmu praktis bagi orang-rang Arab, sebagian karena mereka
harus mengetahui arah Makkah dari setiap kota Islam, supaya bisa
menghadap ke Ka’bah untuk melaksanakan sholat. Dalam astronomi seperti
halnya dalam pengobatan banyak yang dihasilkan oleh bakat pengamatan
yang sabar dan cermat serta observasi riset.
Berkembangnya
ilmu astronomi didorong oleh hasrat ingin tahu para ilmuan untuk
mengetahui gejala ruang angkasa termasuk pergerakan tatasurya, tentunya
seiring dengan perintah agama untuk mengkajinya. Tetapi juga peran
khusus astronomi dalam kepentingan ritual agama seperti penentuan arah
kiblat dan waktu solat, awal Ramahan dan penetapan puasa-puasa lainnya,
memberikan pengaruh tersendiri dalam perkembangan astronomi. Tradisi
keilmuan ini merupakan sintesa antara Babilonia, Arab kuno, Persia dan
India sehingga memantapkan astronomi dengan pada tempat pergumulan
mereka dalam melahirkan teori-teori astronomi sebagai dasar yang lebih
luas dibanding sebelumnya. Ada banyak observatorium sebagai tempat
pergumulan para ilmuan astronomi guna melahirkan teori-teori astronomi
dan merancang istrumen untuk mendukung kerja ilmiah.
Ada
banyak riset astronomi yang dimulai dengan penerjemahan buku-buku
astronomi Arab kuno, Yunani, Persia, India, dan Babilonia ke dalam
bahasa Arab. Buku yang pertama di terjemahkan adalah buku Miftah an-Nujum yang
dikaitkan kepada Heremes pada masa dinasti Umayyah, dari bahasa Yunani
ke bahasa Arab. Penerjemahan ini semakin giat pada masa Abassiyah
terutama masa pemerintahan Harun ar-Rasyid dan Ma’mun.
Pada
masa ini ilmuan Arab dan muslim di dalam Bait al-Hikmah, yaitu sebuah
lembaga ilmiah yang didirikan oleh kekhalifahan al-Ma’mun pada tahun 815
M. Bait al-Hikmah berfungsi sebagai institusi akademik, perpustakaan,
biro penerjemahan dan observasi pada waktu itu.[13] dari Bait al-Hikmah ini berhasil menerjemahkan buku astronomi al-Magest
karya Ptolemy dan buku-buku tentang pergerakan bintang-bintang dari
bahasa Yunani ke bahasa Arab, sambil memanfaatkan secara intensif
pengetahuan Persia dan India. Selanjutnya buku-buku tersebut, terutama al-Magest Ptolemy menjadi bahasan lanjutan beberapa
tahun sesudah itu oleh ilmuwan-ilmuwan Islam, diantaranya Ibnu Sina
yang menelitinya di observatorium Hamadan. Abu al-Wafa menulis dengan
versi yang disederhanakan untuk lebih mudah memahami karya Ptolemy yang
ditulis dalam buku al-Kamil. Selanjutnya dalam Kitab al-Hay’a[14] Jabir
Ibnu Aflah mengkritik pandangan dan pikiran Ptolemy terutama ketika ia
menegaskan bahwa planet-planet yang lebih dekat, yaitu Merkurius dan
Venus tidak mempunyai parallax.[15]
Sekitar 3° untuk matahari. Ia juga mengemukakan pendapat bahwa kedua
pelanet tersebut lebih dekat dengan bumi dari pada dengan matahari.
Para
astronomi pertama Islam yang berkembang dalam pertengahan abad ke-2 H./
ke-8 M. di Bagdad mendasarkan karya astronomi mereka pada hekekatnya
atas tabel astronomi Persia dan India. Karya astronomi terpenting yang
masih terpeliara berasal dari Persia zaman pra-Islam ialah Zij-I Sahi atau Zij-I Sahriyari (Astronomical Table of the King) yang dihasilkan pada tahun-tahun dinasti Sassanid atau sekitar tahun 555 M. Zij atau
tabel dari berbagai bangsa tidak hanya disadur samata, tetapi mereka
membetulkan kesalahan-kesalahan yang ada di dalamnya berdasarkan
pengamatan dan bacaan mereka yang diteliti.[16]
Astronomi
Muslim mengkaji ilmu matematika teoritis terapan dan pengkajian dalam
bidang astronomi. Oleh karena itu dunia menemukan konstribusi ilmuwan
muslim dalam bidang astronomi yang kesemuanya berkisar pada
kesimpulan-kesimpulan matenatis. Hasil penelitian karya ilmuwan Arab
kuno, India, Persia dan Yunani
menghantarkan kepada konsklusi-konsklusi baru yang lebih teliti dan
akurat. Dari sini ilmuan Barat seperti Kepler, Copernicus mendasarkan
teori, sehingga memberikan sumbangsih bagi kebangkitan Eropa.
Ilmuwan-ilmuwa
muslim dalam melakukan pengukuran secara umum telah mengungguli
bagsa-bangsa sebelumnya. Mereka juga sangat jeli dalam mengamati
bintang-bintang, matahari, bulan serta pergerakannya yang memebawa
kepada kemajuan astronomi. Mereka juga memberikan perhatian besar untuk
mempelajari penanggalan waktu karena hubungannya yang erat dengan
astronomi.
A. Astronom Muslim Abad Klasik
1. Umar Khayyaam
Seorang
astronom muslim kenamaan berhasil menciptakan kalender Paus Gregory
XIII pada tahun 1528 M. hasil Umar Khayyaam ini ternyata jauh lebih baik
dibandingkan dengan yang dibuat oleh Paus Gregory XIII. Kalau yang
disebut terakhir ini membuat perbedaan 1 hari dalam 3330 tahun, maka
kelender Umar Khayyam membuat perbedaan 1 hari dalam 5000 tahun. Usaha
tersebut didasarkan pada kepentingan para petani untuk mengetahui kapan
menanam dan memanen gandum dan juga penting bagi para musafir serta
saudagar yang membutuhkan keterangan kapan mereka melakukan perjalanan
gurun pasir dan masih banyak lagi kepentingan lainnya.
Di
samping itu, dikarenakan umat Islam membangun kalender berdasarkan
tahun menurut perjalanan bulan (lunar) yang permulaan bulannya
bergantung pada pengelihatan sesungguhnya yang terpercaya terhadap anak
bulan, maka perhatian yang diberikan oleh para ilmuan muslim pada masa
keemasan untuk menentukan permulaan yang tepat terhadap bulan tersebut
nampak dapat difahami. Tahun Qomariyah dalam penanggalan Islam terdiri
dari 354,367068 hari. Ini sama dengan lama terjadinya dua kali gerhana
secara beruntun yang terbagi menurut jeumlah gerak sirkuler rembulan.
Satu tahun Qomariyah terdiri dari 1 bulan yang terbagi 29 atau 30 hari
dengan patokan rata-rata 29,53059. Agar setiap tahun mempunyai jumlah
yang penuh, maka ditemukan tahun kabisat yang harus muncul 11 kali dalam
waktu 30 tahun, yaitu memiliki angka 2, 5, 7, 10, 13, 16, 21, 26 dan
29. Perhitungan mereka menunjukkan ketelitian yang sangat tinggi. Para
astronomi muslim juga sepakat untuk menamakan bulan-bulan dengan nama
yang digunakan oleh bangsa Babilonia, Kanun II, Syubbath, Azar, Nisam,
Ayar, Haziran, Tammuz, Ab, Ailul, Tisyrin II dan Kanun I.
2. Al-Farghani
Nama
lengkapnya Abu’l-Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Kathir al-Farghani. Ia
merupakan salah seorang sarjana Islam dalam bidang astronomi yang amat
dikagumi. Beliau adalah merupakan salah seorang ahli astronomi pada masa
Khalifah Al-Ma’mun. Dia menulis mengenai astrolabe dan menerangkan
mengenai teori matematik di balik penggunaan peralatan astronomi itu.
Kitabnya yang paling populer adalah Fi Harakat Al-Samawiyah wa Jaamai Ilm al-Nujum
tentang kosmologi. Buku ini memberi pengaruh kuat pada dunia Barat dan
banyak diterjemahkan ke dalam bernacam bahasa, termasuk ke dalam Spanyol
oleh de Sevilla (John of Seville) dan Gerard Cremona pada tahun 1135 M,
dan juga ke dalam beberapa bahasa yang lainnya.[17] Dia juga bekerja di observatorium di Bagdad dan berhasil membuat jadwal apogee (Apogeum) dan perigee (Perigeum) masing-masing planet dengan sistim koresponden episikel ke dalam eksentrisitas dan elip-elip yang terdapat dalam astronomi modern.
3. Al-Battani (858-929 Masehi)
Teori
al-Farghani selanjutnya diteruskan oleh al-Battani, nama panjangnya
adalah Abu Abdullah Muhammad, seorang pakar astronomi berbangsa Arab.
Dia menentukan secara sangat teliti garis lengkung atau kemiringan
(orbit di mana matahari kelihatannya bergerak), panjangnya tahun tropis,
lamanya suatu musim dan tepatnya orbit matahari serta utama planet
tersebut, hingga pada akhirnya al-Battani menemukan rumusan tempo masa
setiap musim dengan terperinci dan terkenal dengan bukunya yang berjudul
Az-Zij.
Al-Battani dengan tegas tidak menyetujui teori Ptolemy tentang sifat imobilitas apogee
tata surya dengan menunjukkan bahwa yang demikian itu merupakan subyek
bagi perubahan oleh siang dan malam yang terjadi lebih awal dalam setiap
tahunnya secara berturut-turut, dan bahwa dengan berpegang kepada
persamaan waktu merupakan subyek bagi sekuler yang lambat. Kebalikan
dari Ptolemy, al-Battani membuktikan adanya variasi diameter angular
yang nampak dari matahari serta kemungkinan terjadinya gerhana-gerhana
yang berbentuk seperti cincin. Al-Battani mengoreksi beberapa orbit
bulan dan planet-planet lain. Di samping itu ia pun mengemukakan teori
baru yang kreatif untuk menentukan kondisi-kondisi jarak pengelihatan
dari suatu bulan baru dan mengoreksi nilai presesi ekinok yang didapatkan Ptolemy. Ia mencatat presesi 54,5 untuk 1 tahun dan inklinasi ekliptika dengan jari jari 23° 35. Sedangkan periode yang diperlukan adalah 54,5 detik busur tiap tahun.[18]
4. Abu al-Wafa al-Buzjani (940-998 M.)
Pada periode setelah al-Battani, muncul astronom muslim lainnya, Abu al-Wafa yang dikenal sebagai seorang
ahli astronomi dan ahli matematik Arab paling terkemuka yang pernah
ada. Beliau merupakan salah seorang penterjemah yang mahir dari Yunani
(Greece). Beliau telah mengarang kira-kira 5 buah buku dan yang terkenal
di antaranya ialah, “al-Handasah” dalam ilmu geometri.
Abu al-Wafa al-Buzjani mengemukakan teori lunar ke-3 atau di Eropa dikenal dengan variation. Teori lunar pertama dan kedua telah diketahui oleh orang Yunani. Teori Abu al-Wafa ini merupakan kelanjutan dan sekaligus penyempurna teori astronomi Ptolemy dan al-Battani.
5. Al-Khawarismi (w. setelah 846)
Mempersembahkan
kepada khalifah al-Ma’mun suatu ringkasan tabel-tebel astronomi India;
dan sekitar tahun 900. Dalam suatu usaha untuk menyelesaikan perbedaan
antara tabel-tebel dari sumber-sumber India, Persia dan Yunani,
al-Battani atau Albategnius membuat tabel-tabel yang sangat akurat.
Sistim Ptolemaik tentu saja dipakai secara universal, tetapi para
astronomer Arab makin menyadari kelemahan sistim itu, walaupun mereka
tidak berhasil menemukan alternative yang memuaskan.[19]
6. Ibnu Abi ar-Rijal (w. setelah 1040 M.)
Ibnu
Abi ar-Rijal adalah seorang ahli astronomi dan matematik dari
Andalusia. Beliau terkenal di kalangan ulama Arab dengan buku, “al-Bari’ fi Ahkam an-Nujum”. Hasil-hasil karangan beliau telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin.
7. Abu ar-Raihan al-Bairuni (973-1048 M.)
Abu ar-Raihan al-Bairuni adalah
seorang pakar astronomi, sejarah, matematik, geografi, kedoktoran dan
farmasi bangsa Arab. Salah seorang alim ulama Islam yang terkenal.
Mengikut sejarah, beliau merupakan seorang ahli sains terkenal dan orang
pertama yang menyatakan bahawa bumi beredar mengelilingi poros. Beliau
telah mengarang lebih dari 120 buah buku.
8. Abu Jaafar al-Khazin (W. setelah 1010 M.)
Abu
Jaafar adalah salah seorang ahli astronomi Islam yang terkemuka. Beliau
sangat alim di dalam matematik dan geometri (kajiukur). Beliau juga
telah mengarang lebih dari empat buah buku dan di antara yang terpenting
ialah “Al-Masa’il Al-Adadiah”.[20]
Selain astronom mulim di atas masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu persatu dalam tulisan sederhana kali ini.
Para
astronom muslim membuat klasifikasi musim; musim semi, panas, gugur,
dan musim dingin dengan tanda-tanda zodiac yang dikaitkan dengan orbit
matahari. Bahkan lebih dari itu, astronom muslim saat itu sudah
menciptakan instrument-instrumen yang mendukung reset astronomi.
Diantarnya yang terkenal adalah astrolab[21],
walaupun namanya berbau Yunani, alat ini dikembangkan oleh orang Islam
dan kenyataannya tidak ada astrolabe Yunani yang masih tersisa.
Astrolabe Islam mulai dibuat pada awal sejarah Islam dan selama ribuan
tahun terakhir seni astrolabe sering memadukan seni yang indah sekali
dan sangat berguna yang begitu penting bagi para navigator sebelum zaman
modern. Begitu pula dengan kompas[22]
sangat bermanfaat untuk menentukan arah mata angin. Kita tidak dapat
membayangkan seseorang Magellan atau Colombus berlayar di tengah lautan
tanpa pertolongan astrolabe dan kompas seperti halnya juga kuadrat,
sekstan, turquem dan alat observasi lainnya yang ditemukan atau
disempurnakan oleh astronot, ahli matemateka dan navigator muslim.
Sementara itu Ibnu Yunus berhasil menemukan pendulum yang
digunakan untuk mengetahui detik-detik waktu dalam meneropong
benda-benda angkasa, seperti halnya bandul dalam jam dinding. Jadi ia
jauh lebih dahulu (kurang lebih enam abad) dibandingkan Galileo Galilei
(1564-1642 M.) yang selama ini di anggap sebagai penemuan alat ini. Alat
ini yang diciptakan untuk mengukur gerak bintang.
Para
ilmuan muslim telah mengetahui banyak tentang bumi berbentuk bulat dan
gerakannya mengitari matahari, dengan bukti-bukti dan argumentasi yang
kuat. Al-Mas’udi mengatakan dalam Marwaj az-Zahab wa Ma’adin.
Bila matahari berada di ujung negeri cina, maka ia akan terbit di ujung
cina. Itu adalah sepenuhnya lingkaran bumi. Sementara itu asy-Syarif
al-Idris menyebutkan dalam bukunya Nuzah al-Musytaq bahwa bumi
itu bulat seperti bulatan bola. Dari keterangan ini jelaslah kiranya
bahwa para ilmuwan muslim telah menemukan bola bumi dan perputarannya
mengelilingi matahari sebelum ditemukan oleh Copernicus (878-955 H.)
beberapa abad kemudian. Jadi salah besar jika Barat dan sejarawan sains
mengatakan bahwa penemu bumi bulat adalah Copernicus. Temuan ilmuan
Islam itu sekaligus membantah pendapat berseberangan dari Ptolemy yang
mengatakan bumilah sebagai poros alam semesta, sementara seluruh benda
langit termasuk matahari dan planet-planet berutar mengelilingi bumi.
Di
Bait al-Hikmah para ilmuan Muslim mengukur dengan sangat teliti
lingkaran bumi pada masa khalifahan al-Ma’mun, khalifah dari dinasti
‘Abbasiyyah yang sengat mendorong perkembangan sains. Hasil kalkulasi
mereka menunjukkan lingkaran bumi ini adalah 41.248 kilometer. Sedangkan
angka ukuran lingkaran bumi yang diketahui sekarang adalah 40.070
kilometer. Dari sini jelas bahwa angka yang dicapai oleh pada ilmuan
musim mendekati angka sebenarnya yang dihitung berdasarkan computer dan
satelit yang bekerja dengan sinar merah.
Perhitungan
lain dalam bidang astronomi yaitu tentang jarah dan ukuran benda
langit. Jarak yang terdekat antara bumi dengan bintang yang terdekat
adalah 25 juta mil dan ukuran bintang sebagian besar menyamai ukuran
matahari, bahkan lebih panas dan besar atau paling tidak menyamai ukuran
matahari. Khusus untuk jarak antara benda langit dapat penulis
cantumkan pendapat al-Fargani dengan perbandigan hitungan astronom
modern untuk memberikan bayangan bayangan tentang dimensi kosmos yang
terbatas dengan perbandingan dengan apa yang ditemukan dalam konsepsi
modern tentang sistim planet. Jarak yang diberikan al-faragi untuk aposee dan perigee setiap planet dan sistim episiklus sejajar dengan ujung-ujung elip dalam astronomi modern.
Jauh
sebelum Ibnu Yunus, pernah ada astronomi lain yang meneliti jarak benda
langit, yaitu Ibnu Qurrah dengan melakukan penghitungan jarah bumi ke
matahari dan panjang tahun matahari. Di samping itu ialah yang membuat
ringkaran al-magnet dan pengantarnya.
Singkatnya
karya monumental pada masa Islam Klasik telah banyak menyumbangkan
perkembangan kemajuan ilmu ini. Namun sayang penemuan-penemuan para
saintis Islam banyak yang tidak diakui dan bahkan diputar balikkan
dengan membangun opini bahwa Barat sebagai pelopor dan menemukannya
pertama kali.
B. Kontribusi Ilmu Pengetahuan Islam Terhadap Peradaban Barat
Perkembangan
intelektual dikalangan umat Islam memberikan sumbangan atau pengaruh
yang banyak terhadap peradaban Eropa. Peradaban eropa pada abad
pertengahan baik langsung maupun tidak langsung kemudian berkembang,
membentuk peradaban Barat yang lebih universal. Tampa sumbangan dan
pengaruh ilmu pengetahuan Islam sulit dibayangkan kemajuan Barat bisa
seperti sekarang ini.
Orang
Eropa sejak awal kemajuan Islam, banyak belajar dari kaum intelektual
muslim. Sikap terbuka yang ditunjukkan oleh para intelektual mulim,
mengakibatkan banyak orang Barat terkemuka mendatangi pusat-pusat ilmu
pengetahuan untuk berguru dan menimba ilmu. Bahkan kepala-kepala gereja
Kristen atau Barat, juga menghadiri kuliah-kuliah yang diberikan oleh
sarjana-sarjana muslim.[23]
Universitas-universitas Islam terutama turut mempercepat proses
perluasan pengaruh permikiran Islam di Eropa, mempunyai peranan dalam
melebarkan pengaruh ilmu pengetahuan Islam terhadap Barat.
Pengaruh
Islam terhadap Eropa Barat sudah berlangsung sejak abad ke-12. Jauh
sebelum perang Salib, Halugu Khan menaklukkan Baghdad dan meruntuhkan
Abbasiyah melihat peradaban Islam yang maju, ia membawa buku-buku dari
perpustakaan Baghdad dan membawanya ke Samarkand, di sanalah ia
mengembangkan karya ilmiah kaum Muslimin, dan menciptakan
akademi-akademi serta mengankat orang-orang yang berilmu.[24]
Para
ilmuan muslim juga berhasil menciptakan metode observasi dan
ekprerimentasi, salah satu di antaranya adalah Jabir Ibn Hayyan yang
mengembangkan ilmu kimia, fisika, kedokteran. Kemudian di kembangkan
lagi oleh Al-Razi dalam bidang kimia dan al-Hasan dalam bidang fisika.
Dengan demikian muncullah metode penelitian ilmiah yang dicetuskan
pertama kalinya oleh orang muslim, dan berikutnya mengalami perkembangan
ilmu pengetahuan, termasuk juga ilmu astronomi.[25] Oleh karena itulah, terdapat banyak filosof dan ilmuan muslim melatarbelakangai bengkitnya renaissance hingga menumbuhkan kemajuan peradaban Barat di Eropa.[26]
Di
lain sisi, era sekarang kaum muslimin mengalami kemunduran, antara lain
disebabkan telah banyak dibakar buku-buku dalam perpustakaan Islam
terutama di Spanyol oleh Kristen Eropa,[27]
namun pemikiran Islam tetap tidak punah, bahkan membidani
gerakan-gerakan kesejahteraan penting di Eropa yang mengubah wajah
kebudayaan Eropa dan bahkan dunia pada Umumnya. antara lain:
1. Kembangkitan kembali (renaissance) kebudayaan Yunani Klasik pada abad ke-14 mula-mula di Italia kemudian merembet ke seluruh Eropa.
2. Gerakan pembaharuan agama Kristen mulai abad ke-16 dengan reformasi yang dilakukan oleh Luther Zuwingli dan Calvin.
3. Rasionalisme pada Abad ke-17 yang dipelopori oleh Rene Descartes dan Jhon Locke, masing-masing dari Inggris dan Prancis.
4. Pencerahan (aufklarung enlightenment)
pada abad ke-18 dengan tokoh-tokohnya Voltaire, D. Diderot, Baron De
Montesqu’e dari Perancis, GW. Leibniz dari Jerman dan MV. Lomonossor
dari Rusia.[28]
V. KESIMPULAN DAN PENUTUP
Melihat
dari masa atau waktu lahirnya para ahli falak maupun astronomi, para
ilmuwan muslim lebih dulu mempelajarinya daripada para astronomis Eropa.
Sehingga dapat dikatakan bahwa pendapat dan teori yang berkembang di
Eropa sangat dipengaruhi oleh adanya pendapat yang telah dikemukakan dan
penemuan-penemuan yang telah didapatkan oleh para cendekiawan muslim.
Tentu
saja, goresan tinda ini masih belum selesai untuk membahas peradaban
Islam klasik dari sisi kemajuan astronomi yang pernah gemilang. Perlu
banyak usaha dalam rangka mengembalikan stamina keilmuan kaum Muslimin
memimpin peradaban terdepan seperti masa keemasannya dulu, sejarah emas
yang lalu, hingga dunia tahu bahwa Islam dengan al-Quran dan Haditsnya
bukanlah hanya omong kosong. Kaum Muslim harus ikut serta dalam kereta
kemajuan modernisasi peradaban dan kemajuan ilmu pengetahuan yang telah
dikembangkan di Barat. Peradaban kaum muslimin harus berupaya menyusul kembali ketertinggalannya.
Butuh
kerja keras dari semua komponen untuk mewujudkan kembali kegemilangan
peradaban Islam. Keterlibatan segenap disiplin ilmu pengetahuan yang
kesemuanya harus pertumpu pada nilai-nilai keislaman. Eropa Barat maju
karena mereka meniggalkan agamanya, namun tidak dengan kaum Muslimin, ia
akan maju dengan mendekati Agamanya. Agama yang ternyata sangat relevan
dengan kemajuan jaman, bahkan lebih dari itu, dengan Kitab Sucinya
merupakan rumusan kunci dari Sains dan Teknologi yang ada. Kitab suci
yang datang dari Tuhan yang benar tidak akan besebrangan dengan rumusan
teori alam yang diciptakan Tuhan, itulah al-Quran.
Ilmu
alam berperan dalam mengenal kekuasaan Allah. Sebagaimana yang
dinyatakan sendiri oleh ilmuwan Thomas Carlyle “Di dalam labolatorium
pengetahuan dengan seluruh sains dan ensiklopedinya, kita akan menemukan
secara tepat keberadaan Tuhan.”[29]
Studi akan fenomena alam dan keajaibannya akan menciptakan daya syukur
dan pemanfaatan alam lebih optimal guna membantu keberlangsungan
kehidupan manusia sebagai hamba Allah. Tipe manusia seperti inilah yang
al Quran menyebutnya sebagai Ulul Albab, cendekiawan muslim yang taat kepada Allah (Q.S. 2:164 dan 197).
Maka
seyogyanyalah kaum Muslimin tidak lagi menjauh dari ilmu alam, tidak
ada lagi dokotomi ilmu agama dan ilmu alam, tidak ada lagi pemisahan
antara dunia dan akhirat. Kesemuanya itu haruslah penuh dengan idealisme
sebuah doa yang sering dilantunkan, meminta kebaikan kehidupan di dunia
dan di akhirat.
“Aku Ingin Hidup dalam Peradaban Islam yang Gemilang…!”
DAFTAR PUSTAKA
A. Baiquni, Sumbangan Sarjana-sarjana Islam terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: YISC, 1977).
A. Qadri Azizy, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).
Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Diin, juz I, (Beirut: Daar al-Fikr, t.t).
Ahmed Dedat, Al-Quran dari Selaga Mu’jizat, terj., oleh Nurudin Prihartono dan Team Titian Ilahi, dengan judul asli Al-Quran the Miracle of Miracle, (Yogyakarta: Titian Ilani Pree, 1996).
Ahmed Dedat, Al-Quran dari Selaga Mu’jizat, terj., oleh Nurudin Prihartono dan Team Titian Ilahi, dengan judul asli Al-Quran the Miracle of Miracle, (Yogyakarta: Titian Ilani Pree, 1996).
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1998).
Edwin RA. Seligman, (ed.,), Encyclopaedia of Social Science, vol. XV, (New York, 1957).
Isma’il al-Faruqi, Islamisasi Ilmu Pengetahuan (terj. Anas Mahyuddin), Bandung: Pustaka, 1984.
Iratius Radiman (dkk.), Ensiklopedi Singkat Astronomi dan Ilmu yang Bertautan, (Bandung : Penerbit ITB, 1980).
Ira Lapidus, a History of Islamic Societies, (Cambrige: Cambrige University Press, 1995).
Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1999).
Jamaluddin Ancok dan Fuat Nasori, Psikologi Islam; Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.
Komisi Nasional Mesir untuk UNESCO, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan, terj. oleh Ahmad Tafsir dari judul asli Islamic and Contribution to the European Renaissance, (Bandung: Pustaka, 1986).
Lengkapnya lihat di Moh. Murtadlo, Ilmu Falak Praktis, (Malang : UIN Malang Press, 2008).
Mahdi al-Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al-Quran, terj. oleh Agus Efensi dari judul asli the Holy Quran and then Science of Nature, (Bandung: Mizan, 1999).
Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta : Buana Pustaka, 2004).
Poerdisastra, Sumbangsih Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern, (Jakarta: Girimukti, 1981).
Susiknan Azhari, Ilmu Falak, Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, (Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2007).
Syed Ameer Ali, Api Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1978).
W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam, Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990).
[1] Isma’il al-Faruqi, Islamisasi Ilmu Pengetahuan (terj. Anas Mahyuddin), Bandung: Pustaka, 1984, h. 35.
[2] Jamaluddin Ancok dan Fuat Nasori, Psikologi Islam; Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, h. 114.
[3] Prinsip teleology dan potensi alam.
[4] Q.S. Al-Baqarah : 30 dan Q.S. Adz-Dzariyat: 51-56.
[5] Al hujura: 13
[6] Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Diin, juz I, (Beirut: Daar al-Fikr, t.t), h. 101-104.
[7] Mahdi al-Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al-Quran, terj. oleh Agus Efensi dari judul asli the Holy Quran and then Science of Nature, (Bandung: Mizan, 1999), h. 62.
[8] Ahmed Dedat, Al-Quran dari Selaga Mu’jizat, terj., oleh Nurudin Prihartono dan Team Titian Ilahi, dengan judul asli Al-Quran the Miracle of Miracle, (Yogyakarta: Titian Ilani Pree, 1996), h. 33.
[9] Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1999), h. 213.
[10] Susiknan Azhari, Ilmu Falak, Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, (Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2007), h. 14.
[11] Iratius Radiman (dkk.), Ensiklopedi Singkat Astronomi dan Ilmu yang Bertautan, (Bandung : Penerbit ITB, 1980), h. 6-7.
[12] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta : Buana Pustaka, 2004), h. 3-4.
[13] Ira Lapidus, a History of Islamic Societies, (Cambrige: Cambrige University Press, 1995), h. 94.
[14] Salinan buku ini terdapa di berlin dengan judul Islah al-Majisti atau Correction of almagest.
[15] Parallax ialah
perubahan kedudukan suatu benda karena perpindahan tempat pengamatan.
Dalam astronomi berarti beda lihat. Jadi merupakan perbedaan arah sebuah
benda langit dipandang dari titik pusat bumi dan dari tempat pengamatan
di permukaan bumi.
[16] Tebel lain yang sangat terkenal diciptakan ileh Ibnu Yunus melalui karyanya az-Ziz al-Kabir al-Hakimi atau Ziz Ibnu Yunus atau sekarang dikenal dengan persi bahasa Inggris Hakemite Astronomical Tabel. Karya ini mulai disusun pada tahun 380 H. / 990 M. Kemudian disempurnakan lagi di saat menjelang akhir hayatnya. Ziz
yang terdiri dari empat jilid ini kemudian tersebar ke berbagai penjuru
dunia yang bobot mutunya lebih tinggi dibandingan karya Ptolemy.
[17] Poeradisastra, Sumbangsih Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern, (Jakarta: Girimukti, 1981), h. 123.
[18] Ibid., h.77.
[19] W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam, Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990), h. 236.
[20] Lengkapnya lihat di Moh. Murtadlo, Ilmu Falak Praktis, (Malang : UIN Malang Press, 2008), h. 23.
[21] Alat pengintai ruang angkasa.
[22] Komisi Nasional Mesir untuk UNESCO, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan, terj. oleh Ahmad Tafsir dari judul asli Islamic and Contribution to the European Renaissance, (Bandung: Pustaka, 1986), h. 189.
[23] Syed Ameer Ali, Api Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 561.
[24] Ibid., h. 574.
[25] A. Baiquni, Sumbangan Sarjana-sarjana Islam terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: YISC, 1977), h. 15.
[26] A. Qadri Azizy, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 84.
[27] Edwin RA. Seligman, (ed.,), Encyclopaedia of Social Science, vol. XV, (New York, 1957), 510.
[28] Poerdisastra, Sumbangsih Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern, (Jakarta: Girimukti, 1981), h. 69.
[29] Ahmed Dedat, Al-Quran dari Selaga Mu’jizat, terj., oleh Nurudin Prihartono dan Team Titian Ilahi, dengan judul asli Al-Quran the Miracle of Miracle, (Yogyakarta: Titian Ilani Pree, 1996), h. 33.
Komentar
Posting Komentar